Aku Seonggok Batu
Aku seonggok batu
yang lalu lalang orang melihatnya
Terinjak, bahkan teraniaya
tetap keras, namun selalu dicemooh dengan bahasa mereka
Mengalahkan ego sendiri bahkan orang lain
Karena sifatku adalah demikian
Orangpun takkan peduli
masa bodoh dengan keadaanku..
Aku senang dan sedihpun
orang tidak ambil pusing, biarlah..
bukan keadaan ini yang membuatnya
Tapi sifatnya dan kondisi yang menuntutnya.
karena Batu itu keras
dimanapun medan dan tempatnya akan sama
tidak butuh diperhatikan
saudara mungkin juga buta melihatnya
sebatang kara
tempat pemukiman asing yang tidak tahu di mana..
berkarya dan mmberikan manfaat saat ini
mungkin kuncinya..
Aku bebas tanpa belenggu
Tidak terikat atau mengikat
biar orang saja yang mengerti jalannya..
karena setiap jengkal yang dilewati
Batu tetaplah batu..
Ia keras dan mengeraskan
Butuh idealisme
Rasanya tidak
Karena Aku adalah Batu..
Kreasiku, untuk Bahasa dan Sastraku
Sabtu, 25 Januari 2014
Ekspresi Semiotik Tokoh Cerita
Ekspresi Semiotik Tokoh Cerita dalam Novel The Kite Runner Karya Khaled Hosseini
Tahun 2009
Skripsi S-1 Oleh: Rio Septora, S. Pd.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kesusastraan merupakan pengungkapan
dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan
masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap
kehidupan manusia (Esten, 1978:9). Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan, baik yang menggembirakan maupun yang menyedihkan terungkap dalam
karya sastra. Pengarang sebagai pengungkap permasalahan kehidupan tersebut,
bermaksud menyampaikan sesuatu kepada pembaca atau penikmat karyanya. Aminuddin
(1984:130) mengatakan bahwa, karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan.
Dalam karya sastra terdapat saling pengaruh antara kehidupan masyarakat dengan
terwujudnya gagasan.
Sumardjo dan Saini K. M. (1994:8) mengemukakan pendapatnya
tentang karya sastra yaitu:
Sebuah karya
sastra dihargai karena ia berhasil menunjukkan segi-segi kehidupan yang kita
kenal sehari-hari. Kehidupan sehari-hari ditinjau oleh sastrawan dan diberi
makna, agar pembacanya kelak setelah membaca karya sastra dapat kembali ke
kehidupan sehari-hari dengan pandangan baru terhadap kehidupan. Karya sastra
bukan hanya mencatat kehidupan sehari-hari tetapi menafsirkan kehidupan itu,
memberi arti kehidupan.
Suharianto (1982:11) mengatakan
bahwa, karya sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, karena mengingat
karya-karya itu sendiri merupakan pengejawentahan kehidupan; hasil pengamatan
sastrawan terhadap sekitarnya. Selanjutnya, Rampan (1986:140) mengemukakan,
“isi karya sastra adalah kehidupan. Ia akan mampu menggambarkan kehidupan
manusia secara utuh, jiwa, pikiran, dan perasaan pengarang yang diberikan oleh
lehidupan sekitarnya.”
Nilai-nilai yang terungkap dalam karya
sastra dijadikan bahan renungan, dijadikan pedoman dalam kehidupan, dan dapat
dijadikan pelajaran oleh pembaca. Segi-segi kehidupan yang diungkapkan
pengarang dalam kehidupan tidak selamanya diungkapkan secara nyata dan menunjuk
langsung kepada suatu objek yang diceritakan. Pengarang dapat mengungkapkan
maksud dan tujuannya melalui suatu simbol atau lambang yang mengandung makna.
Dengan kata lain, ungkapan kebenaran yang ingin disampaikan pengarang melalui
tokoh-tokoh cerita dapat terungkap melalui perbuatan tokoh cerita dan
simbol-simbol secara abstrak. Oleh karena itu, tugas pembaca mencari makna dan
maksud dari suatu cerita yang disajikan dalam karya sastra.
Pengkajian makna dalam sastra
memerlukan pengetahuan dan pemahaman.
Seorang pembaca akan mudah memberikan makna dan penafsiran tentang suatu
cerita bila ia sudah mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang karya sastra,
sehingga pembaca mampu menyimpulkan dan
mencari nilai-nilai kebenaran dalam karya sastra. Walaupun demikian, pembaca
tidak selamanya menangkap makna yang terkandung dalam karya sastra. Akibatnya,
terjadi komunikasi yang tidak lancar bagi pembaca ketika memberikan makna dan
pemahaman terhadap karya sastra yang dibacanya. Hal ini terjadi karena karya
sastra yang dibacanya menyimpang dari konvensi yang ada. Seperti yang
dikemukakan Culler (dalam Nyoman, 2003:161).
“Membaca
merupakan manifestasi sosiokultural, sebab dalam aktivitas membaca terkandung
skala tingkah laku dalam memanfaatkan makna kehidupan sehari-hari, sekaligus
meningkatkan kualitas pemahaman mengenai kolektivitas. Membaca novel merupakan
aktivitas dialogis, sebab yang bertindak bukanlah subjek dengan objek,
melainkan subjek dengan subjek, dalam kontruksi intersubjektivitas. Membaca
karya sastra pada dasarnya sama dengan membaca masyarakat itu sendiri.
Kecintaan terhadap karya sastra muncul karena
cerita yang disajikan melibatkan unsur-unsur sosial budaya yang khas sebagai
hubungan lingkungan dengan dunia yang terbuka. Hubungan penulis dengan sosial
budayanya tidak menjadikan hal itu sebagai satu perpaduan untuk menciptakan
sebuah karya sastra. Menurut Sumardjo (1992:15) pengarang yang tidak lain
sebagai pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat. Ia hidup dan berelasi
dengan orang lain disekitarnya, maka tidak mengherankan jika terjadi interaksi
dan interaksi antara para pengarang dan masyarakat. Damono (1984:3) menyatakan
karya sastra merupakan hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial
budaya. Hasil penggambaran masyarakat ini membentuk dunia baru dalam karya
sastra. Dunia baru ini merupakan kode yang dapat membantu melihat proses sosial
yang berguna bagi kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.
Selanjutnya, Sumardjo (1992:16--17) mengatakan pengaruh kondisi sosial
masyarakat pada corak sastra tidak dapat diterima bagitu saja tanpa melihat
masyarakat mana yang diproyeksikan pengarang dan bagaimana respon pengarang
terhadap masyarakat itu. Kaitan antara karya sastra dengan kehidupan merupakan
bahan bagi sastrawan untuk menyajikan gagasannya dalam karya sastra. Dikatakan
demikian karena sastrawan merekam, merenungkan dan mencari nilai dan makna dari
pristiwa dalam kehidupan kemudian diungkapkan dalam bentuk gagasan melalui
bahasa sebagai media pengungkapnya. Darma (2007:30) mengemukakan bahwa, tugas
kebudayaan adalah melihat manusia sebagai manusia yang baik, dan mempunyai
kemampuan untuk dikembangkan menjadi lebih baik. Meskipun demikian, kebudayaan
juga bersifat realistis, yaitu menyadari bahwa tidak semua orang itu baik.
Karya sastra sengaja dibuat untuk mendapat simpati pembacanya, salah satu
produk sastra adalah novel. Novel sebagai karya sastra, digunakan pengarang
untuk menggambarkan pikiran dan perasaannya. Menurut Damono (dalam Yunus,
2002:2), novel merupakan genre utama
sastra dalam zaman industri ini. Novel dapat dianggap sebagai usaha untuk
menciptakan kembali dunia sosial, terutama hubungannya dengan lingkungan,
keluarga, politik dan negara. Perkembangan novel yang lebih dominan dalam
sastra Indonesia memberikan kontribusi tersendiri dalam kaitannya untuk
membangun kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Untuk melihat masyarakat yang bagaimana ditampilkan pengarang di dalam
karyanya dan bagaimana respon pengarang terhadap masyarakat itu dibutuhkan
suatu penelitian yang mendalam. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian
sastra yang melibatkan aspek sosial budaya sebagai sistem tanda yang dikenal
sebagai ekspresi semiotik. Penelitian sastra itu bukan hanya meneliti sastra
dari segi tekstual dengan segala unsur sastra melainkan juga meneliti bagaimana
ekspresi semiotik pada kehidupan masyarakat dan pencerminan proses suatu tanda
dan makna di dalam karya sastra. Aspek-aspek
kehidupan dan fenomena yang terkandung dalam novel itulah membuat munculnya ide
bahwa sistem tanda dan makna tidak hanya terdapat dalam puisi tetapi rangkaian
kalimat yang terdapat dalam novel. Menurut Halliday (dalam Pateda, 2001:32)
bahwa sistem tanda yang dihasilkan manusia berwujud lambang, baik lambang
berwujud kata, maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat.
Proses kebudayaan sebagai tanda-tanda merupakan bentuk aplikatif yang
mencerminkan keseluruhan aktivitas manusia. Semiotik yang mengemukakan dan
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra,
semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang
bergantung pada konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat)
yang memberi makna bermacam-macam cara (modus) wacana. Nyoman (2005:90)
mengemukakan,
Semiotika
berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan
manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Sebagai pengetahuan praktis,
pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektivitas
dan efisiensi energi yang harus dikeluarkan.
Zoest (dalam Nyoman 2005: 109)
menambahkan semiotika budaya adalah tanda-tanda yang terkandung dalam suatu
kelompok masyarakat tertentu, yaitu manusia dengan berbagai tradisi dan adat
kebiasaannya. Penelitian yang digarap ini lebih kepada ekspresi semiotik tokoh
cerita yang terdapat dalam novel The Kit
Runner. Dengan kata lain, sesuai dengan konsep semiotik, penelitian ini
berusaha mengungkapkan segala sesuatu yang terdapat di dalam, dibalik tanda atau
lambang yang terdapat di dalam cerita yang berkaitan dengan tokoh cerita
seperti kelahiran tokoh, peran tokoh, latar (setting) kehidupan tokoh. Tentang kelahiran tokoh, misalnya, dalam
cerita seorang tokoh ketika lahir dihadiri oleh banyak orang, pristiwa
kelahiran yang seperti itu merupakan penanda(signifiant).
Pertanyaan akan segera muncul misalnya, mengapa tokoh itu lahir harus dihadiri
oleh banyak orang? Alternatif jawaban pertanyaan ini jelas memberikan makna dan
“makna” itu tidak lain adalah petanda (signifie).
Signifie itu adalah betapa besar
harapan atau peristiwa kelahiran yang dianggap sebagai sesuatu yang diagungkan
dalam siklus kehidupan manusia. Jadi penelitian ini berusaha menerapkan gagasan
konsep semiotik dalam pengkajian cerita, khususnya mengenai tokoh kehidupan di
dalam cerita.
Pengkajian tentang novel sudah banyak dilakukan para ahli sastra dan
pengamat sastra dengan cara melakukan analisis terhadap unsur-unsur intrinsik
dan unsur-unsur ekstrinsik yang membangun suatu novel. Tetapi, pengkajian dan
penelaahan novel dengan menggunakan pendekatan semiotik bisa dikatakan masih
sedikit terutama yang berkaitan dengan ekspresi semiotik. Oleh karena itu,
penulis bermaksud menganalisis novel The
Kit Runner karya Khaled Hosseini dengan menggunakan pendekatan semiotik.
Beberapa penelitian yang menggunakan pendekatan semiotik sebelumnya
pernah di teliti oleh Arif Rahman dalam Kajian
Semiotik Novel Aus Karya Putu Wijaya Tahun 1998, Ida Rohana dalam Analisis Semiotik Novel Tirai Menurun
Karya N.H. Dini Tahun 1995, Rismawati dalam Tinjauan
Semiotik Novel Berkisar Merah Karya Ahmad Tohari Tahun 1995, dan Dewi Ratna
Sari dalam Kajian Semiotik Novel Roro
Mendut Karya Y.B Mangun Wijaya Tahun 1996 masing-masing penelitian tersbut mengungkapkan
kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya di dalam novel. Tetapi dalam
penelitian ini, peneliti mengambil Ekspresi
Semiotik Tokoh Cerita Novel The Kit Runner Karya Khaled Hosseini dan
penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Muhammad Hafidz dalam skripsinya
yang berjudul Ekpresi Semiotik Tokoh
Cerita dalam novel Lho karya Putu
Wijaya Tahun 1997. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
terletak pada objek yang diteliti dan pembahasan yang dilakukan. Penelitian
sebelumnya lebih menerapkan pada unsur intrinsiknya, atau lebih kepada
penokohan dengan sedikit memasukkan ekspresi semiotiknya. Pada penelitian ini
penulis mengkaji Ekpresi Semiotik Tokoh Cerita pada novel The Kit Runner dengan buku “Ekspresi Semiotik Tokoh Mitos dan Legendaris dalam Tutur Sastra Nusantara” oleh
Aliana, Z.A dkk tahun 1997 sebagai acuan.
Novel The Kit Runner karya Khaled Hosseini, pertama kali diterbitkan oleh
Qanita PT. Mizan Pustaka (Bandung), Februari 2008. dengan jumlah halaman 496
lembar. Novel ini adalah novel pertama yang dikarang oleh Khaled Hosseini.
Awalnya novel ini hanya diterbitkan oleh Riverhead
Books Published by The Berkley Group A Division of Penguin Group (USA), Karena begitu memikat perhatian dan
diangkat ke layar lebar oleh Paramounth
Pictures kemudian bertengger di daftar New
York Times Best Seller maka novel The
Kit Runner diterjemahkan ke dalam 42 bahasa yang terjual di seluruh dunia
lebih dari delapan juta kopi dan dianugerahi sebagai novel “Humanitarian Award 2006” oleh UNHCR.
Khaled Hosseini sendiri asli orang
Kabul Afganistan yang lahir pada tahun 1965. Ayahnya seorang diplomat dari
kementrian luar negeri Afganistan dan Ibunya mengajarkan farsi dan sejarah di
sebuah sekolah tinggi besar di Kabul. Tahun 1976 keluarga Hosseini di relokasi
ke Paris oleh kementrian luar negeri Afganistan dan mereka sekeluarga siap
kembali ke Kabul pada tahun 1980, tapi karena negeri itu telah berada dalam
pendudukan Soviet dan suasana tidak memungkinkan untuk kembali akhirnya pada
bulan September tahun 1980 keluarga Hosseini dipindahkan ke San Jose California. Tahun 1984 Hosseini
lulus dari sekolah tinggi kemudian terdaftar di Santa Clara University dan mendapat gelar sarjana muda pada jurusan
biologi pada tahun 1988. Tahun berikutnya Ia masuk University
of California-San Diego School of Medicine dan mendapatkan gelar
medis pada tahun 1993, Dan selesai residensi di Rumah Sakit Cedars-Sinai di Los
Angeles menjadi seorang dokter penyakit dalam. Antara tahun 1996 dan 2004, Walaupun
praktek medis masih berjalan, Hosseini mulai menulis novel pertama, The
Kite Runner pada bulan Maret 2001. Pada tahun 2003 The Kit Runner diterbitkan dan sejak itu menjadi laris
internasional, yang diterbitkan di 48 negara. Pada tahun 2006 ia mendapatkan gelar untuk duta UNHCR, United Nations Badan Para pengungsi. Sekarang Hosseini tinggal
di utara California. (http://www.khaledhosseini.com di akses 25 September 2008).
Novel The Kit Runner mampu
menempatkan Khaled Hosseini sebagai salah satu penulis berbakat yang berasal
dari Afgan. Khaled Hosseini memang seorang pengarang yang mengajak pembaca
memahami sendiri makna yang tersirat dalam karyanya. Hosseini tidak hanya
seorang dokter penyakit dalam tetapi Ia juga seorang novelis yang mampu
menyihir publik dengan cerita yang sangat indah dan memesona yang digarap
sangat bagus dan jenius.
The Kit Runner telah beredar ke
48 negara dan sudah mendapatkan beberapa penghargaan di seluruh dunia dan menjadi
buku terlaris sepanjang tahun 2005 (Desiana, http://bookzfreak.blogspot.com/10/08/kite-runner-khaled-hosseini.html
diakses 25 September 2008). Novel The Kit
Runner karya Khaled Hosseini merupakan novel yang mengungkapkan
masalah-masalah orang seorang serta hubungan seseorang dengan orang lain.
Seseorang akan selalu terikat dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Novel The Kit Runner sangat
kental akan unsur kebudayaan yang terdapat dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat, setiap masyarakat harus berada dalam ruang lingkup yang tidak
melebihi akan status sosial yang telah melekat padanya. The Kit Runner mengisahkan tokoh-tokoh yang mencari arti pentingnya
persaudaraan yang bereksistensi dirinya dan dengan orang lain. Tokoh Aku (amir),
Hassan, Baba, Rahim Khan, Assef, Soraya, dan Farid (Sopir Angkot) yang selalu
setia dengan amir untuk mencari seorang anak dari sahabatnya.
Penulis mengangkat novel The Kit Runner sebagai bahan penelitian
karena isi cerita dalam novel tersebut mengandung aspek sosial, kebudayaan dan
unsur kekerabatan. Cerminan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan hubungan
kekerabatan dapat terlihat jelas dan itu merupakan sebuah bentuk apresiasi yang
menyeluruh dari sebuah penciptaan karya sastra sengaja dibuat penulis untuk
menghibur para pembacanya.
Sebagai data awal, peneliti
kemukakan bentuk ekpresi semiotik tokoh cerita dalam novel The Kit Runner
a) Berkaitan dengan kehidupan tokoh (siklus kehidupan)
“Aku
menjadi diriku yang sekarang ini saat berumur 12 tahun, pada suatu hari yang
beku di musim dingin 1975. Masih kuingat jelas, saat aku berlutut dibalik
reruntuhan tembok lempung, mengintip gang sempit yang memanjang di dekat sungai
yang membeku. Peristiwa itu telah lama berlalu, tapi pengalamanku selama ini, menunjukkan
bahwa kita tak akan pernah bisa mengubur masa lalu...”
Saat kami
masih kanak-kanak, Aku dan Hassan suka memanjat pohon-pohon popplar yang tumbuh di jalan masuk rumah
ayahku dan mengusik tetangga kami dengan memantul-mantulkan cahaya matahari ke
rumah mereka menggunakan pecahan cermin.
“Pada
musim panas 1976, musim panas terakhir
yang diselimuti kedamaian dan ketenangan, aku merayakan ulang tahunku yang
ke-13...”
Kutipan cerita di atas menyatakan bahwa siklus kehidupan saat tokoh
mengingat masa lalunya yang saat itu masih berusia 12 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa ekpresi semiotik yang muncul ketika ia melihat reruntuhan
tembok, kebiasaan suka memanjat pohon, keadaan musim panas terakhir yang
diselimuti ketenangan dan merasakan kembali masa kecilnya. Pembaca sudah bisa
membayangkan bagaimana kondisi yang sebenarnya ketika penulis mengingatkan
kembali kisah tokoh ketika masih kecil.
b) Berkaitan dengan peran tokoh
“...aku
menyadari bahwa para tamu itu tidak benar-benar datang karena aku. Saat itu
memang ulang tahunku, namun aku tahu bintang yang sebenarnya dalam acara itu”.
“Kupikir,
secara umum, setidaknya untuk ukuran sebuah pesta, perayaan ualng tahunku
sukses luar biasa. Rumahku belum pernah sepenuh itu sebelumnya.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa
peran yang ada pada diri tokoh sebagai seorang anak yang membutuhkan kasih
sayang dari orangtuanya. Ekspresi semiotik terlihat pada awal kalimat yang
dirasakan itu sebagai sebuah tanda untuk memberikan penekanan pada kalimat
selanjutnya.
c) Berkaitan
dengan latar kehidupan tokoh
“Aku
berjalan-jalan di sepanjang jalan Spreckles Lake dipinggiran utara Golden Gate
Park...,”
“Kami Berjalan-jalan di Pasar yang menyeruakkan
aroma apak di daerah Shar-e-Nau, atau di kota baru, di sebelah barat distrik
Wazir Akbar Khan…”
“Dia bekerja dalam sebuah bilik sempit di Jadeh
Maywand, daerah sesak di sebelah selatan tepi sungai Kabul yang berlumpur. Aku
ingat, kami harus merangkak untuk memasuki toko seukuran sel penjara itu, lalu
kami harus mengangkat tingkap untuk merayap menuruni tangga kayu menuju ruang
bawah tanah yang pengap, tempat Saifo menyimpan koleksi layang-layangnya yang
termasyur…”
“Keesokan
paginya, dari kamarku,...”
Dari kutipan di atas tergambar bahwa
sebuah latar kehidupan dari tokoh saat sedang berada di sebuah tempat, sehingga
dari kutipan di atas pembaca dapat merasakan bagaimana kondisi tokoh pada saat
itu. Ekspresi semiotiknya terdapat pada masing-masing kalimat di atas sebuah
latar yang memberikan sebuah tanda dimana tokoh di dalam cerita itu berada.
Setiap cerita yang terdapat dalam novel The Kit Runner banyak memunculkan ekspresi semiotik dengan berbagai
variasi kalimat yang menunjukkan bahwa itu menunjukkan sebuah latar, peran, dan
kondisi dimana tokoh cerita itu ditempatkan. Dengan sendirinya pembaca bisa
tahu pada ruang lingkup mana cerita itu ditempatkan.
Demikianlah sebagai data awal dapat
dilihat bentuk dari ekspresi semiotik yang terdapat dalam novel The Kit Runner. Dari ketiga contoh di
atas belum seutuhnya memberikan gambaran ekspresi semiotik, untuk lebih
menekankan konsep ekspresi semiotik dan kajian yang lebih terperinci dapat
dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 1. Ruang Lingkup Eskpresi Semiotik
No
|
Ruang Lingkup Penelitian Ekspresi
Semiotik
|
Sub. Bagian Ekspresi Semiotik
|
1
|
Deskripsi ekspresi semiotik
kehidupan tokoh
|
|
2
|
Deskripsi
ekspresi semiotik peran tokoh
|
a.
Kedudukan dan peranan dalam keluarga.
b.
Kedudukan dan peranan dalam masyarakat.
|
3
|
Deskripsi
ekspresi semiotik latar kehidupan tokoh
|
|
Melalui penganalisisan novel The
Kit Runner karya Khaled Hosseini akan diungkapkan nilai-nilai kehidupan
yang tersirat melalui ekspresi semiotik tokoh sehingga pembaca dapat mengambil
hikmah dan renungan untuk dijadikan pelajaran dalam menjalani kehidupan. Penelitian
ini akan medeskripsikan ekpresi semiotik tokoh dengan menerapkan kajian
semiotik, yaitu dengan kode sastra dan kode budaya.
2. Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah ekspresi semiotik tokoh cerita yang terdapat dalam novel The Kit Runner karya Khaled Hosseini
dengan konsep semiotik yaitu kode sastra dan kode budaya.
3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan bentuk penampilan (performance)
ekspresi semiotik tokoh cerita dalam novel The
Kit Runner karya Khaled Hosseini dengan pendekatan semiotik sehingga
pembaca dan penikmat sastra memperoleh gambaran tentang ekspresi semiotik
kehidupan, peran, latar, kehidupan, dan prilaku tokoh cerita. Selain itu,
melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran yang jelas dan
lengkap tentang bentuk penampilan ekspresi semiotik tokoh cerita dalam novel
yang dianalisis.
4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat secara teoretis dan secara praktis. Secara teoretis, hasil
penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembaca terutama peminat
sastra mengenai ekspresi semiotik tokoh cerita dalam novel The Kit Runner karya Khaled Hosseini.
Secara praktis, hasil penelitian ini
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan teori pemahaman karya sastra, khususnya
pemahaman terhadap sastra.
BAB II
Tinjauan
Pustaka
2.1 Sastra dan Semiotik
Pradopo (dalam Aliana, 1997:8) mengemukakan bahwa studi sastra yang
bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai sesuatu
sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai makna, dalam tulisan lainnya Pradopo memberikan penjelasan karya
sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna, karya sastra itu karya
seni yang bermedium bahasa. Bahasa sebagai bahan sastra sudah merupakan sistem
tanda (semiotik) tingkat pertama dan mempunyai kemampuan konvensi sendiri yang
menyebabkan mempunyai arti. Sebagai bahan karya sastra, bahasa disesuaikan
dengan konvensi sastra, bahasa menjadi sistem tanda baru, yaitu makna sastra (signifinance). Sastra sebagai sistem
tanda merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua yang kedudukannya di atas
bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama. Oleh karena itu, dalam sastra arti
bahasa disesuaikan dengan konvensi sastra, konvensi arti sastra, yaitu makna (sifnificance). Dipandang dari konvensi
bahasa, konvensi sastra itu adalah konvensi “tambahan” kepada konvensi sastra.
Karya sastra diungkapkan menggunakan
bahasa sebagai medianya. Bahasa merupakan penanda dan petanda dari sebuah karya
sastra. Teeuw dalam santosa (1993:1) mengatatakan, bahwa setiap penanda dan
petanda yang masih dapat dicerna melalui komunikasi dalam karya sastra maka
dapat dikatakan sebagai ancangan semiotika. Penciptaan anacangan semiotika itu
digunakan untuk mengatasi kemacetan komunikasi dalam merebut makna sebuah karya
sastra.
Santosa (dalam Hafidz, 1997:9)
mengemukakan pendapatnya tentang ancangan semiotika sebagai berikut:
...Setiap tanda yang
terdapatnya dalam karya sastra baik mengenai penanda maupun petandanya selama
masih dapat memungkinkan terjadinya komunikasi dengan berbagai pihak yang
terkait, terutama insan susastra, maka dapat dikategorikan termasuk ancangan
semiotika. Bermula dari bahasa sebagai sistem tanda, maka karya sastra yang
bermediumkan bahasa merupakan sistem semiotika atau sistem tanda. Pengarang pun
dalam mengekspresikan idenya menggunakan bahasa, maka sudah barang tentu
pengarang pun mau tak mau memanfaatkan semiotika dalam karya sastranya. Jadi,
sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua karena menggunakan bahasa sebagai
bahan dasarnya.
Pradopo (dalam Aliana dkk., 1997:12--13)
mengemukakan bahwa karya sastra merupakan tanda-tanda yang bermakna. Karya
sastra menggunakan bahasa sebagai media pengungkapnya. Bahasa merupakan sistem
tanda yang mengandung makna. Selanjutnya Pateda (2001:29) menambahkan
pendapatnya tentang semiotik dalam
masyarakat sebagai berikut.
Masyarakat yang berwujud manusia dikelilingi oelh
tanda, diatur oleh tanda, ditentukan oleh tanda, behkan dipengaruhi oleh tanda
sehingga dengan demikian terdapat kelompok semiotik (semiotic group) dalam
masyarakat, misalnya kelompok pedagang yang diatur oleh tanda-tanda tertentu
yang berlaku dalam kelompok mereka sendiri dan secara bersama-sama dengan
kelompok lain membentuk sosio-semiotik (socio-semiotic).
Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa sastra sangat erat kaitannya dengan semiotika. Dikatakan
demikian, karena sastra menggunakan bahasa sebagai media pengungkapnya. Sedangkan,
bahasa itu sendiri adalah sistem tanda yang mempunyai makna.
2.2 Semiotika
Menurut Pradopo (2007:119) semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang
tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mmpelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda itu
mempunyai arti.
Berdasarkan pengkajian dan
penganalisisan karya sastra yang menggunakan teori semiotik, Atmazaki (dalam
Hafidz, 1993:12) mengemukakan, teori semiotik adalah teori yang berpijak atas
asumsi bahwa karya sastra adalah tanda-tanda yang mesti diberi makna atau di
interpretasikan. Selanjutnya Zoest (1992:5--6) mengemukakan bahwa,
Semiotika
adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara
berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengrimannya, dan
penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Apabila studi tentang tanda ini
berpusat pada penggolongannya, pada hubungannya dengan tanda-tanda lain, pada caranya
bekerja sama dalam menjalankan fungsinya, itu adalah kerja dalam sintaks
semiotik. Apabila studi ini menonjolkan hubungan dengan tanda-tanda dengan
acauannya dan dengan interpretasi yang dihasilkannya, itu adalah kerja semantik
semiotik, apabila studi tentang tanda ini hubungan antara pengirim dan
penerimanya itu adalah kerja pragmatik semiotik...
Hoed (dalam Nurgiyantoro, 1995:40)
mengemukakan semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Santosa
(dikutip oleh Aliana, 1997:7) mengemukakan semiotika memiliki tiga komponen
dasar yaitu tanda, lambang, dan isyarat. Tanda selalu menunjuk/mengacu pada
sesuatu hal yang nyata, misalnya benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan,
pristiwa, dan bentuk-bentuk tanda yang lain. Misalnya, petir selalu diatandai
oleh kilat. Jadi, tanda adalah arti yang statis, umum, lugas, dan objektif.
Lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang memiliki pemahaman si subjek
kepada objek. Hubungan antara subjek dan objek terselip adanya pengertian
sertaan. Misalnya, warna merah putih pada Sang saka Merah Putih” merupakan
lambang kebangasaan bangasa Indonesia. Disamping itu, warna merah pada bendera
kita juga melambangkan semangat yang tak mudah dipadamkan, sedangkan warna
putih melambangkan makna suci, bersih, mulia, luhur, bakti dan penuh kasih
sayang. Jadi, lambang adalah tanda yang bermakna dinamis, khusus, subjektif,
kias, majas. Isyarat adalah sesuatu hal atua keadaan yang diberikan si subjek kepada
objek. Dalam keadaan ini si subjek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahukan
kepada si objek yang diberi isyarat pada waktu itu juga. Jadi, isyarat bersifat
temporal (kewaktuan).
Tanda mempunyai dua aspek yaitu
petanda (signifier) dan penanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya
yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu
yang ditandai oleh pananda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan
tanda merupakan satuan bunyi yang menandai arti: orang yang melahirkan kita’.
Tanda tidak hanya satu macam saja
tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya.
Jenis-jenis tanda yang utama adalah ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang menunjukkan
adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan
itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang
menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret,
gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan
hubungan klausa (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap
menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin dan sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Saussure (dalam
Nurgiyantoro, 1995:43) mengemukakan bahwa bahasa sebagai sistem tanda memiliki
dua unsur yang tidak terpisahkan signifier
dan signified, signifiant dan signiefie, atau penanda dan petanda.
Wujud penanda (signifiant) dapat
berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda (signifie) merupakan makna yang
terkandung dalam penanda tersebut. Dengan kata lain, setiap penanda akan
memunculkan suatu petanda Abram (dalam Nurgiyantoro, 1995: 43--44).
Santosa (1993:6) mengemukakan
pendapatnya tentang penanda dan
petanda sebagai berikut.
“Penanda adalah yang
menandai dan sesuatu yang segera atau simpati, mungkin terdengar sebagai bunyi
atau terbaca sebagai tulisan, misalnya cinta, tetapi mungkin pula terlihat
dalam bentuk penampilan, misalnya wajahnya memerah, napasnya terengah-engah,
gerakannya gemetaran, tampangnya menyeramkan, dan sebagainya. Petanda adalah
sesuatu yang tersimpulkan, tertafsirkan, atau terpahami maknanya dari ungkapan
bahasa maupun nonbahasa”.
Lebih lanjut Hoed (dalam
Nurgiyantoro, 1994:40) tanda merupakan sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain
yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi,
yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai
hal yang melingkupi kehidupan ini walau harus diakui bahwa bahasa adalah sistem
tanda yang paling lengkap dan sempurna. Selanjutnya Pateda (2001:29)
menambahkan semiotik dapat dikelompokkan menjadi sembilan macam semiotik yaitu
semiotik analitik, semiotik deskriptif, semiotik, faunak, semiotik kultural,
semiotik naratif, semiotik natural, semiotik normatif, semiotik sosial, dan
semiotik struktural. Jika dikaitkan dengan penelitian ini maka dari sembilan
macam semiotik hanya dua yang digunakan dalam penelitian ini yaitu semiotik
sosial dan semiotik struktural.
Semiotik sosial menurut Halliday
(dalam Pateda, 2001:32) yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang. Baik lambang berwujud kata
maupun lambang berwujud kata salam satuan yang disebut kalimat. Dengan kata lain semiotik sosial menelaah sistem
tanda yang terdapat dalam bahasa. Sedangkan untuk semiotik struktural Parret
(dalam Pateda, 2001:32) mengemukakan bahwa semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang di manifestasikan melalui struktur bahasa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semiotik
adalah ilmu yang mempelajari tanda dan makna. Sedangkan, tanda adalah sesuatu
yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa gagasan, pengalaman, pikiran,
dan perasaan sehingga membuat lingkaran makna dalam masyarakat. Dalam hal ini
dengan konsep semiotik yang ada akan mengungkapkan ekspresi semiotik tokoh
dalam novel The Kit Runner karya
Khaled Hosseini.
2.3 Ekspresi Semiotik Tokoh Cerita
Ekpresi
semiotik dalam kaitannya dengan tokoh cerita dapat dilihat melalui beberapa
bagian yaitu
1)
Kehidupan tokoh diantaranya siklus kehidupan tokoh
cerita, dalam hal ini mencakup siklus kehidupan tokoh ketika masih kecil,
remaja hingga dewasa.
Masa kecil tokoh yaitu di artikan sebagai anak yang harus masih banyak
belajar. Pada tahap ini anak tersebut sedang dalam perkembangan kognisi yang
berarti bagaimana memperoleh pengetahun, menyimpannya dan menggunakannya (Monks
dkk., 2004:255). Sedangkan untuk masa remaja Monks menambahkan sebagai berikut.
Masa remaja
merupakan sosok yang tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk
golongan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau
golongan tua. Remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Remaja masih belum
mampu menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya dan mereka masih harus
menemukan tempat dalam masyarakat.
Untuk masa dewasa dapat diartikan sebagai sosok yang sudah berkembang
penuh. Orang dewasa dengan kemampuan-kemampuan yang sudah cukup berkembang
sudah dapat menemukan tempatnya di dalam masyarakat; orang itu makin menarik
diri dari masayarakat meskipun sukar ditentukan pada usia berapa betul-betul
tidak lagi aktif sama sekali (Monks dkk., 2004:257). Selanjutnya Mappiare
(1983:17) mengemukakan pendapatnya tentang masa dewasa yaitu masa dewasa yang
boleh dikenakan kepada individu-individu yang telah memiliki kekuatan tubuh
secara maksimal dan siap bereproduksi dan telah dapat diharapkan memiliki
kesiapan kognitif, afektif dan psikomotor, serta dapat diharapkan memainkan
peranannya bersama dengan individu-invidu lain dalam masyarakat.
2)
Peran tokoh, berkaitan dengan dua hal yaitu kedudukan
dan peranan dalam keluarga serta berkaitan dengan kedudukan dan peranan dalam
masyarakat.
3)
Latar kehidupan tokoh berkaitan dengan tempat-tempat
tertentu, sebuah benda ataupun berkaitan dengan tumbuhan dan hewan.
Dari ketiga poin di atas dapat disimpulkan bahwa kaitan kehidupan tokoh
jika dihubungkan dengan isi cerita akan terlihat hubungan yang sangat jelas
bahwa kehidupan tokoh tersebut akan memunculkan ekspresi semiotik, karena Unsur
semiotik dalam novel diletakkan sebagai landasan cerminan kehidupan, karena
cerita di dalamnya mengandung aspek apa saja yang memungkinkan itu terjadi. Preminger
(dalam Pradopo, 1993:123) mengemukakan bahwa studi sastra yang bersifat semiotik
adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai apa saja yang memungkinkan
karya sastra memiliki makna. Cerita yang terdapat di dalam novel itu sendiri
menerangkan kehidupan tokoh dari berbagai aspek dengan menganalisis sistem
tanda dan konvensi-kovensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur
tanda-tanda dalam ragam sastra itu mempunyai makna. Untuk mengungkapkan makna
karya sastra itu diperlukan beberapa kode, diantaranya kode sastra dan kode
budaya.
2.4 Kode sastra
Yunus (1985: 75--76) berpendapat bahwa kode sastra adalah suatu sistem
tanda yang primer yang membawa informasi antara pengucap dan pendengar. Sistem
yang berada dalam karya sastra disebut kode sastra. Kode sastra digunakan oleh
pembaca untuk memahami suatu karya sastra. Kode ini secara potensial diberikan
dalam suatu sistem komunikasi. Selain itu, kode ini juga bersifat tanda yang
memiliki interpretasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk memahami
makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra, khususnya novel dapat
digunakan suatu kode khusus berupa tanda-tanda yang memiliki interpretasi.
Tanda-tanda itu terungkap melalui ekspresi tokoh cerita.
2.3.1 Tema
Tema merupakan ide sebuah cerita
yang disampaikan pengarang berupa suatu masalah kehidupan, pandangan hidup
tentang kehidupan. Tema juga merupakan sesuatu yang dipikirkan oleh pengarang
yang diungkapkan di dalam karya sastra. Pada hakekatnya, tema adalah pokok
persoalan yang menjadi pemikiran pengarang yang kemudian hendak disampaikan
kepada penikmat (pembaca atau penonton)
(Suroto, 1990:34), atau persoalan utama di dalam sebuah karya sastra
(Esten, 1987:87).
Suharianto (1982:28) menyatakan
bahwa tema adalah pokok pikiran yang dicetuskan pengarang yang menjadi jiwa dan
dasar cerita. Lebih lanjut Aliana (1982:7) menyatakan tema adalah sesuatu yang
menjadi persoalan bagi pengarang. Di dalamnya terbayang pandangan hidup atau
cita pengarang: bagaimana ia melihat persoalan itu.
Dari beberapa pendapat di atas,
dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan sentral sebagai titik tolak dalam
mengungkapkan persoalan, yang berisi pandangan hidup dan cita-cita pengarang
serta bagaimana ia melihat persoalan itu.
2.3.2 Tokoh dan Penokohan
Karya sastra tentu tidak terlepas
dari kehidupan sehari-hari, pristiwa yang ada dalam karya sastra sama halnya
dengan kehidupan yang semuanya dilakukan oleh tokoh atau pelaku. Tokoh menurut
Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (1988:144) adalah orang yang mengambil bagian dan
mengalami pristiwa yang digambarkan di dalam plot Sudjiman (1992:16) menyatakan
bahwa tokoh merupakan individu yang mengalami pristiwa di dalam berbagai
pristiwa cerita. Tokoh menurut Atmazaki (1960:61) ...”adalah komponen penting
dalam sebuah cerita.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan
tokoh merupakan pelaku atau aktor dalam sebuah cerita yang mengalami berbagai
pristiwa atau perlakuan di dalam peristiwa cerita dan memiliki peran yang
penting.
Tokoh cerita biasanya mengemban
suatu perwatakan yang diberikan oleh pengarang. Prilaku tokoh dapat diukur
melalui tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan, dan sebaginya (Semi, 1988: 38).
Berdasarkan fungsi tokoh di dalam
cerita dapatlah dibedakan menjadi tokoh sentral atau tokoh utama dana tokoh
bawahan. Tokoh utama selalu ada dan relevan dalam setiap pristiwa,l biasanya
bertipe protagonis. Ia merupakan tokoh yang memegang peranan penting dan selalu
menjadi tokoh sentral (Sudjiman, 1991:17).
Tokoh bawahan adalah tokoh yang
tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan
untuk menunjang tokoh utama (Grimes dalam Sudjiman, 1992:17).
Penokohan dalam teori sastra
Indonesia sering disebut dengan perwatakan atau karakterisasi. Suharianto
(1982:31) mengemukakan, penokohan atau perwatakan adalah pelukisan mengenai
tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa pandangan
hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadat, dan sebagainya.” Menurut
Atmazaki (1990:62) perwatakan adalah temperamen tokoh-tokoh yang hadir di dalam
cerita dan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa penokohan merupakan penyajian watak tokoh dengan menggambarkan kualitas
tokoh, kualitas nalar, dan kualitas jiwa tokoh cerita sehingga tokoh yang satu
dengan tokoh yang lain memiliki suatu perbedaan.
Untuk menggambarkan watak tokoh
setiap pengarang memiliki cara-cara tersendir. Di dalam penyajian watak tokoh
cerita, seorang pengarang dapat menempuh cara analitik dan dramatik. Secara
analitik, pengarang dengan kisahnya dapat menjelaskan karakteristik seorang
tokoh. Secara dramatik, pengarang menggambarkan apa dan siapa tokoh itu tidak
secara langsung, tetapi melalui hal-hal lain, seperti menggambarkan tempat dan
lingkungan sang tokoh, percakapan antara tokoh dengan tokoh lain, percakapan
tokoh-tokoh lain tentang dia, dan perbuatan sang tokoh (Saad dalam Darmasuta,
1994: 8).
Penelitian ini tokoh dan penokohan
dikemukakan melalui performance tokoh atau lebih kepada tokoh cerita.
Penceritaan tokoh yang ada di dalam novel The
Kit Runner akan dikemukakan melalui perwatakan, dari perwatakan yang akan
dikemukakan akan mengetahui secara menyeluruh bagaimana sifat tokoh di dalam
cerita.
2.3.3 Latar atau Setting
Latar atau Setting disebut juga
sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan Abrams
(dalam Nurgiyantoro, 1994:216). Dalam kebanyakan cerita latar dapat menimbulkan
suasana emosional yang mengitari perwatakan setting merupakan latar belakang
yang membantu kejelasan jalan cerita, setting ini meliputi waktu, tempat,
sosial budaya. Nurgiyantoro (2000:227) mengemukakan pembagian unsur latar
dibedakan ke dalam tiga unsur pokok diantaranya sebagai berikut.
a)
Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa
tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu
tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam
dunia nyata. Nurgiyantoro menambahkan penggunaan latar tempat dengan nama-nama
tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat
dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja
memiliki karakteristik sendiri yang membedakannya dengan tempat-tempat yang
lain.
b)
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah “kapa” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang
ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
c)
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai
masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan cara berpikir dan
bersikap.
Sumardjo dan Saini K. M. (1986:76)
menyatakan bahwa setting bisa berarti
banyak yaitu tempat tertentu, daerah tertentu, orang-orang tertentu dengan
watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup
tertentu, cara berpikir tertentu.
Pendapat-pendapat di atas, dapat
dijadikan dasar untuk membuat suatu kesimpulan bahwa latar adalah lukisan
beberapa orang tokoh pada suatu peristiwa yang berhubungan dengan alam dan
manusia. Berdasarkan pengertian yang ada di atas latar novel The Kit Runner hanya kepada latar
tempat. Suatu proses unsur semiotika yang diterapkan untuk mengemukakan kode
sastra melalui latar tempat di dalam cerita terutama berkaitan dengan unsur
tanda dan simbol pada performance tokoh
di suatu tempat.
2.4 Kode Budaya
Selain kode sastra, suatu karya sastra, seperti novel, dapat juga
dianalisis berdasarkan kode budaya. Nurgiyantoro (1995:33--34) mengemukakan
bahwa penafsiran karya sastra secara lebih baik, di samping, memerlukan
pengetahuan (kompetensi) kode bahasa dan kode sastra juga memerlukan kode
budaya pengetahuan tentang kode budaya akan memperluas wawasan dan ketepatan
penafsiran, mengingat bahwa sastra yang dihasilkan dalam suatu masyarkat akan
mencerminkan nilai budaya suatu masyarakat.
Eco (dalam Sudjiman dan Zoest, 1992:40) mengatakan bahwa kode-kode budaya
(cultural codes) merupakan sistem kebiasaan dan sistem nilai, kode budaya itu,
antara lain kebiasaan, kesopanan atau etika, sistem kekeluargaan, dan sistem
sosial.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kode budaya dalam cerita rekaan
tidak terlepas dari dimensi latar belakang sosial budaya, baik kesinambungan
budaya sebelumnya maupun penyimpangan dari budaya yang telah mapan. Cakupan
latar belakang budaya itu diantaranya, kebiasaan, adat-istiadat, etika, dan
sistem kekeluargaan.
Djamaris (1993:2--3) mengemukakan lima kategori hubungan manusia dengan
nilai budaya:
1)
nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan;
2)
nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam;
3)
nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat;
4)
nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain;
5)
nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya
sendiri.
Keempat nilai budaya itu merupakan empat unsur yang tercakup dalam kode
budaya, tetapi dalam penelitian ini ada dua hal yang tidak dimasukkan ke dalam
penelitian yaitu nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan nilai
budaya dalam hubungan manusia dengan alam. Nilai budaya pada kaitan ini adalah
makna (signifie) dalam kajian
semiotika.
2.3.2 Hakikat Novel
Novel
berasal dari kata latin novellus yang
diturunkan pula dari kata novies yang
berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis
sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain, maka novel ini muncul
kemudian (Tarigan, 1984:164). Selanjutnya, Esten (1978:46) menambahkan sebab
memang tradisi kesusastraan berbentuk novel adalah baru buat kita (Indonesia).
Ia baru kita kenal semenjak kita berkenalan dengan kebudayaan barat.
Esten (1978:12) mengemukakan bahwa
novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang
lebih panjang) dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan
terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya. Para pengamat sastra
mengartikan novel berdasarkan sudut pandang dan kriteria masing-masing,
sehingga batasan pengertian novel berbeda-beda. Tarigan (1984:164) menambahkan
novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu yang
melukiskan para tokoh, gerak tokoh, dan disertai dengan kehidupan nyata yang
presentatif dalam suatu alur.
Hendy (1993:225) mengemukakan
tentang ciri-ciri novel sebagai berikut.
1) penyajian cerita lebih panjang dari cerita pendek
dan lebih pendek dari roman;
2) bahan cerita dianglat dari keadaan masyarakat;
3) penyajian cerita berlandaskan pada alur pokok dan
dirangkai dengan beberapa alur pengunjung;
4) tema novel terdiri dari tema pokok dan tema bawahan;
5) karakter tokoh bermacam-macam.
Menurut Sumardjo dan Saini (dalam Hafidz, 1993:17) pada hakikatnya, novel
memiliki kesamaan unsur-unsur fiksi dengan roman, novelet dan cerita pendek,
tetapi ada juga perbedaannya yaitu terletak pada takaran unsur-unsurnya (tema,
alur, tokoh, latar, dan karakter). Perbedaan novel dengan karya prosa yang lain
adalah sebagai berikut:
1) Roman lebih panjang dari novel.
2) Novellet lebih pendek dari novel tetapi lebih panjang dari cerita
pendek.
3) Cerita pendek relatif pendek baik unsur cerita maupun jnumlah katanya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan
novel dengan karya prosa lain pada hakikatnya terletak pada takaran
unsur-unsurnya dan besarnya kandungan masalah dalam cerita tersebut.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode
Metode adalah cara kerja bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan struktural semiotik.
Maksudnya, penelitian ini dilakukan berdasarkan data dan fakta dengan mengkaji
penanda (signifiant) dan makna (signifie) yang terdapat dalam kode sastra dan
kode budaya novel The Kit Runner. Sesuai
dengan hakikat metode deskriptif, penelitian ini tidak berhenti pada
pengumpulan data saja. Data yang terkumpul diseleksi, diinterpretasikan, dan
disimpulkan.
3.2 Teknik
3.2.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumnetasi. Teknik ini digunakan
untuk memperoleh data-data yang berhubungan dengan kajian Ekspresi semiotik tokoh
cerita khususnya kode sastra dan kode budaya yang terkandung dalam novel The Kit Runner karya Khaled Hosseini.
Data utama penelitian ini adalah novel The
Kit Runner.
3.2.2 Teknik Analisis Data
Penulis menggunakan teknik studi
pustaka. Studi pustaka adalah penelitian atau penyelidikan ilmiah terhadap
semua buku, karangan, dan tulisan mengenai suatu bidang ilmu, topik, gejala,
atau kejadian. Setelah data dikumpulkan, diseleksi, dan diolah dengan
menggunakan teknik analisis karya (penganalisisan dari hasil karya seseorang
misalnya terhadap karya-karya orang terkenal dalam suatu bidang pengetahuan).
Dengan demikian teknik analisis karya digunakan untuk mengungkapkan
ekspresi semiotik tokoh certia dengan pendekatan semiotik yang mencakup kode
sastra dan kode budaya yang terdapat di dalam novel The Kit Runner karya Khaled Hosseini. Teknik analisis data dalam
penelitian ini sebagai berikut.
1) Menelaah atau membaca novel secara berulang-ulang
dan membuat sinopsis novel The Kit Runner
karya Khaled Hosseini, untuk memberikan gambaran cerita secara keseluruhan baik
bagi penulis sebagai peneliti maupun bagi pembaca.
2) Menganalisis kode sastra dan kode budaya dengan
mengungkapkan penanda (signifiant) dan petanda (signifie) yang terdapat dalam novel The Kit Runner dengan memperhatikan kedua kode tersebut melalui
penampilan (performance) para tokoh.
3) Setelah ditelaah dan dianalisis, data tersebut diinterpretasikan
berdasarkan pendekatan struktural semiotik dengan menghubungkan kode sastra dan
kode budaya ke dalam masing-masing tokoh cerita. Hal itu berkaitan dengan
kehidupan tokoh, peran tokoh, dan latar tokoh.
4) Membahas hasil analisis dikaitkan dengan teori dan
hasil penelitian sebelumnya.
5) Menarik kesimpulan.
3.3 Sumber data
Sumber data penelitian ini adalah sebuah
novel yang berjudul The Kit Runner
karya Khaled Hosseini. Diterbitkan oleh penerbit Qanita, PT Mizan Pustaka pada
tahun 2008 cetakan kedua dengan ukuran 20,5 cm dan jumlah halaman 496 lembar.
Langganan:
Postingan (Atom)